Selasa, 13 Agustus 2013

Still Into You

Satu tahun ku kenal dengannya. Kami bukan sahabat, terlalu singkat untuk di katakan sahabat. Kami dekat, sangat dekat bahkan rumah kami hanya terpisah satu blok. Karena saking dekatnya, orang tua kami mengira aku dan dia sedang menjalin hubungan. Diam-diam aku berharap bahwa penyataan itu benar. Pernyataan bahwa kami sedang menjalin hubungan tapi itu hanya sebuah khayalan bodohku saja. Khayalan seperti anak kecil yang memimpikan boneka Barbie idamannya. Ya, memang kami tak ada hubungan apa pun selain sebatas pertemanan. Jika aku mengatakan yang sebenarnya, aku sudah tau apa yang akan terjadi setelahnya. Dia akan menjauh dan tak akan memaafkanku karena itu. Tapi bukankah cinta itu datang dengan sendirinya tanpa diminta? Apakah ada orang melarang untuk tidak jatuh cinta? Sebenarnya aku tak cukup yakin jika ia takkan memaafkanku karena aku suka padanya. Itu bodoh.

Akhir-akhir ini aku sering gugup saat bersama dengannya, Carol. Entah rasa ini tumbuh begitu cepat dari yang bisa kubayangkan. Carol memiliki banyak alasan untuk bisa dicintai oleh orang lain. Dia baik, pintar, cantik, dan berbakat. Dia mendekati sempurna. Dan aku beruntung bisa sedekat ini dengannya. 

"Hey, mau makan es krim?" tanyaku pada Carol yang tengah duduk di atas atap rumahnya. Kami sedang menikmati matahari tenggelam. Carol sangat suka dengan matahari tenggelam.

Ia mendongak ke arahku yang sedang berdiri beberapa meter di belakangnya,
"Ya boleh." Carol kembali menatap matahari di kejauhan.

"Baiklah, kita akan makan di kedai es krim setelah makan malam usai, bagaimana?" Akhirnya aku duduk di samping Carol.

"Ide yang bagus, David. Look, matahari hanya meninggalkan cahaya temaram. Cepat sekali tenggelamnya"

"Memang selalu begitu, Carol."

"Tidak, kali ini lebih cepat. Aku sudah melihat ribuan kali matahari tenggelam, dan kali ini tenggelam lebih cepat. Kau tidak lihat?" ujarnya.

Aku mengangkat alis dan bahu, "Sudahlah. Besok kita akan melihatnya lagi, oke? Don't be like a child, Carol"

"Okay, maaf. Ayo saatnya makan malam, aku tak sabar untuk makan es krim. Tak seperti biasanya kau mengajakku makan es krim?" kata Carol seraya bangkit dari tempatnya duduk. Aku pun juga bangkit.

"Aku sedang senang hari ini. Jangan kau hancurkan, ya?"

Carol menyikut perutku. Dan aku terkekeh. Kemudian kami turun melalui tangga yang terhubung dengan loteng.

***
Aku mengenakan sweatshirt abu-abu dengan tulisan HOOP DRMS 14 di bagian dada. Saat keluar rumah, udara lumayan menggigit kulitku. Tak menyesal aku memakai sweatshirt. 
Sesampainya dirumah Carol, aku mengetuk pintu utama rumahnya. Setelah 3 ketukan, perempuan paruh baya berdiri di hadapanku. Senyumnya mengembang saat melihat diriku

"Hi David, mencari Carol?" lesung pipinya terlihat saat ia berbicara. Wajahnya masih cantik dan muda padahal ia sudah mempunyai 3 anak yang sudah besar. Ia ibu Carol.

"Iya Ny. Kate"

"Okay, akan kupanggilkan. Ayo duduk."

Ny. Kate mempersilahkan ku duduk di sofa ruang tamu keluarga Bradley, Ayah Carol. Banyak foto yang terpajang di dinding sekitar ruang tamu. Kebanyakan foto adalah saat mereka sedang jalan-jalan ke luar negeri.

Sesaat kemudian, Carol muncul dengan sweatshirt berwarna merah bata bergambar Unicorn dan skinny jeans biru panjang. Rambutnya yang pirang kecoklatan tergerai alami. Dia tetap sama, tetap sama cantik seperti biasanya.

"Kau siap?" tanyaku.

Carol tersenyum, "C'mon!" Carol meraih tanganku yang bebas dan kemudian menggandengnya.

Sesampainya di jalan setapak, kami berdiam cukup lama dengan jemari masih bertautan. Heningnya malam membuat keadaan menjadi semakin canggung. Kami saling mencuri pandang saat salah satu dari kami melihat ke arah yang lain. 
Dan akhirnya, Carol memancingku untuk memecah keheningan. 

"Kenapa kau melihatku seperti itu?" tanyaku.

"Kau terlihat lelah. Kau sakit, David?" tangannya yang bebas terbang menuju dahiku. Merasakan apakah aku demam atau tidak.
Saat telapaknya menyentuhku, ada sengatan seperti listrik mengalir di darahku. Aku menjadi patung sedingin es. Aku tidak boleh gugup, tak boleh gugup di hadapannya. Sadar David, dia hanya temanmu. Takkan pernah menjadi milikmu seutuhnya, walaupun banyak orang berkata bahwa teman bisa menjadi cinta. Buang jauh-jauh pikiran itu dan camkan bahwa Carol adalah temanmu. Ohh damn, pikiranku berterbangan.

"Uh tidak. Aku baik-baik saja". Yaa akhir-akhir ini memang badanku sedang tidak enak. Di tambah kegiatanku di kampus amatlah banyak. Dengan demikian, jadwal makanku menjadi tidak teratur dan kurang beristirahat. Tapi aku tidak ingin mengecewakan Carol, dia ingin sekali makan ice cream.

Carol melepaskan tangannya dari dahiku dan melihatku awas. Aku tahu ini akan segera ketahuan, dia bukan orang yang mudah di bohongi. Sepertinya aku tak berbakat menjadi pemeran sinetron yang pandai menyembunyikan muka berbohong.

"Sungguh?" tanyanya menginteropeksi.

"Iya, sungguh. Aku sehat jika terus dekat denganmu." Perkataanku seketika membuat pipi Carol memerah. Dia mencoba menyembunyikannya, tapi aku sudah menemukannya terlebih dahulu di bawah lampu jalan yang temaram. Sudut bibir Carol sedikit terangkat dan kedua alisnya menurun. Itu tandanya, alibiku berhasil. Yeah, aku tarik ucapanku tadi, aku memang berbakat akting berbohong meskipun di hadapan orang yang sangat mengenalku dan ternyata Carol mudah untuk di bohongi ekekek. Hatiku tertawa.

"Okay, aku percaya. Apakah jadi makan es krim?"

Aku menggandeng tangannya dan melangkah.

***
"Ini es krim yang enak sekaliiii!! Kenapa kau tak pernah bilang disini ada kedai es krim?" tanya Carol seraya menjilat London Dairy Mango Yoghurt Ice Cream Smoot-nya. Kalau tidak salah itu es krim terkenal yang di import dari negara luar. Wah, kedai kecil tapi sudah berani menawarkan es krim import.

"Kedai ini baru buka sekitar 2 minggu lalu. Kau tak pernah lewat jalan sini 'kan?"

"Sayangnya tidak. Bagaimana kau tau kedai ini?"

"Kau bodoh ya, ini kan milik pamanku."

Terkadang Carol bisa menjadi manusia yang menjengkelkan. Aku sudah memberitahunya bahwa ini adalah kedai punya pamanku yang baru buka 2 minggu lalu, seperti yang aku bilang. Dan dia sangat gembira mendengar hal itu. Ku kira dia takkan lupa pemberitahuan 4 hari yang lalu. Dia hanya terkekeh saat aku menjelaskan tentang kedai ini (lagi).

"Kau makan ice cream apa?" tanya Carol sambil menyuapkan sepotong waffle yang sebelumnya ia beri sedikit es krim di atasnya.

"London Diary Hazelnut Ice Cream Stick."

"Kau harus bilang pada pamanmu jika kedua nama es krim yang sangat lezat ini terlalu panjang."

"Akan ku sampaikan."

"Oh ya, ngomong-ngomong kau senang karena apa? Kau bilang hari ini kau sedang bahagia, iya 'kan?"

Ternyata dia masih ingat perkataanku di atap tadi sore. Padahal Carol bukan orang yang senang mengurusi urusan orang lain, sekalipun itu temannya sendiri. Sungguh. Hanya terkadang sih ekekekek.
Huh rupanya dia tidak ingat lagi ya? Pagi ini dia sudah menemaniku seharian. Jogging bersama, makan siang bersama, mengajaknya ke taman bermain terkenal dan terseru di kotaku, melihat sunset dan terakhir untuk hari ini, ya makan es krim bersama, hanya berdua. Apakah dia tidak bahagia seperti aku seharian ini? Tapi aku tidak melihat ada kekecewaan di wajahnya. Yeah, aku tau semua wanita pandai sekali menyembunyikan perasaannya. Tapi apakah benar dia tidak senang bermain denganku? Uh, lagi-lagi pikiranku mengacau.

Ku beranikan untuk menggenggam tangannya yang bebas,
"Yeah, kau tahu, aku sangat senang bisa melewati hari ini denganmu, sepanjang hari. Apakah kau sama sepertiku?"

Carol menggigit bibir bawahnya, "Kau tahu, aku juga. Entah mengapa aku sangat senang hari ini. Mungkin ini akan menjadi hari terbaik dari hari-hari sebelumnya." Carol tersenyum. Senyumnya nyata. Sudah lama aku memimpikan senyum itu. Dan kini, senyum itu sudah di depan mata. Pipinya kembali memerah, tapi kali ini ia tidak berusaha untuk menyembunyikannya. Ku lepaskan tanganku yang sedari tadi menggenggam tangannya, kemudian pindah di pipi kanannya. Entah kenapa, ia menarikku mendekat. Lebih dekat, lebih dekat. Kiranya kurang 5 sentimeter, ia mengulurkan tangannya menuju ujung mataku. Ha?

"Bulu matamu jatuh. Nih." ia mengulurkan jemarinya yang memegang bulu mata ke telapak tanganku.

Bulu mata? Hanya satu bulu mata? SATU BULU MATA?! Yang benar saja!

Saat aku memandang tak-habis-pikir pada satu bulu mata, ada kecupan kilat mampir di pipi kiriku. Oh. Jangan sampai mulutku menganga lebar karena hal semacam ini. Aku sekuat tenaga menyembunyikan ke-saltinganku dengan hanya tersenyum selebar mungkin.

"Thanks, David. Hari yang sangat menyenangkan. Mau pulang?" tanya Carol santai. Aku tahu, disana ada rasa salting tapi ia tutupi dengan apik dengan sikap cool nya.

"Okay."

Kemudian kami berjalan menuju kasir untuk membayar. Dan betapa beruntungnya aku bahwa es krim yang aku dan Carol pesan adalah es krim promo. Lengkap sudah hari ini. Mungkin ini adalah hari paling indah dalam hidupku, tak pernah aku sesenang ini bersama cewek.

***
TBC

Rabu, 26 Juni 2013

Selamat Tinggal Putih Biru


            Haiiii gue udah lulus lohhh alhamdulillah :D dapet nem yang lumayan juga. Sekarang gue jadi pengangguran banyak acara, kerjaannya main laptop sok sibuk ngeliatin jurnal pendaftaran padahal facebookan sama twitteran wkwk namanya juga abege. Kadang juga ngestalk fesbuk mantan, fesbuk temen, yaah namanya abege kan. Oke, kali ini gue mau nge publish tentang masa-masa perubahan fisik, psikolog dll. Dari mulai gue kelas 1 SMP sampe 3 SMP. Yang dulunya kalo nulis sms sampe pening ngebaca tulisannya apa, yang dulu kalo foto pasti ada jari telunjuk mendarat di bibir yang di monyongin, jari ngebentuk centang terus di tempelin di dagu, kalo ngedit foto pasti alay. Sekarang kalo ngeliat status gue yang dulu, rasanya pengen ngakak dan bilang, "Njir gue alay menjijikan. Itu beneran gue? Ahahahahahaha" ketawa kayak orang setres ngeliat status gue sendiri. Tahun ganti tahun, udah malu kalo jadi alay, fisik juga udah mulai berubah terutama wajah. Sekarang juga udah kenal pacaran, pdkt, galau dll. Terus juga udah gaul jadi anak sosial network hihi.

Gue mau nge publish foto-foto gue sama temen temen dari kelas 1 SMP sampe 3 SMP, gak banyak kok entar lo kaget ngeliat betapa alay dan kumelnya gue xixi. Check it ouutt! =)


Ini waktu kelas 7, lagi main di tempat futsal :)


Kumel banget kan? Maklum sifat SD nya masih ada  xx


Ini waktu kelas 8. Gue lagi gowes sama Sarah, classmate.

Ini waktu Study Tour kelas 8. Ini lagi di PHI, penginapan.
Ini kelas 9, sama Amel di kelas. Maaf ngga sopan duduk diatas meja:)
Waktu kelas 9 lagi ambil foto buat katalog<3



See the difference of me? Yang dulunya jelek banget, sekarang juga masih jelek sih hehe._. yang dulu gue di behel sekarang udah rapii, yang dulu alay sekarang udah mendingan ngga parah banget hihi. 7F-8C-9B keren, love yaaa! :* gue yang pake kerudung heheh._. See you soon!


10 Lagu Paramore (Favorite Blog Ini)

Pasti ada dong yang tau siapa Paramore itu, yakan? Paramore adalah sebuah band rock asal Amerika yang dibentuk tahun 2004. Membernya ada: Hayley Williams sebagai vokalis, Jeremy Davis sebagai bassist dan Taylor York sebagai gitaris. Nah kali ini gue mau ngasih beberapa lagu Paramore favorit gue. Yang suka rock pasti bakalan suka deh. Check it out yaa






1. Playing God
Bagus bangeett lagunya, dari semua lagu Paramore gue paling suka yang ini.
"..You don't have to believe me. But the way, way I see it. Next time you point a finger.."

2. Brick by Boring Brick
Ini juga bagus, bagus banget malah. Coba deh dengerin lagunya
"..Well go get your shovel. And we'll dig a deep hole.."

3. Still Into You
Lagu ini lumayan baru lah, video clip nya baru-baru ini di releas. Ini ngga kalah TOP
"..I should be over all the butterflies, but I'm into you.."

4. That's What You Get
Ini juga bagus bangeett, keren deh pokoknya
"No sir, well I don't wanna be the blame not anymore.."

5. My Heart
Lagunya galau-galau gimana gitu, tapi terakhir-terakhirnya ada scream dari siapa ya gue lupa. Tapi keren!
"..Stay with me, this is what I need, please?..."

6. Monster
Rawrrr, lagunya baguusss. Video clipnya kereenn, lagunya pasti juga gak kalah kereenn
"..Don't you ever wonder how we survive? Well now you're gone, the world is ours"

7. Born For This
Lagunya ngerock-rock gimana gitu, suka suka sukaaa
"..It takes acquired minds to taste, to taste, to taste this wine.."

8. Use Somebody
Paramore nge cover lagu ini dari King of Leon. Paramore nge cover jadi akustik, bagus bangeettt!
"..You know that I could use somebody, someone like you.."

9. Ignorance 
Lagunya ngerock abis, nadanya cepet sekalee. Tapi tetep keren!
"..You treat me just like another stranger, well, it's nice to meet you, sir.."

10. Decode
Lagu ini juga jadi OST. Twilight loh, baguusss!
"..The truth is hiding in your eyes, and it's hanging on your tongue.."


Nahh, itu tuh 10 lagu Paramore favorit gue. Coba deh download dan dengerin, yang suka rock pasti suka.
Nb: I'm not a Parawhore, I just like their nice songs :) thanks for reading!

Senin, 13 Mei 2013

Oh jadi ini..

Waktu berlalu dengan sangat cepat, sampai-sampai aku tidak menyadari adanya perasaan yang aneh muncul begitu kamu hadir mengisi ruang-ruang kosong di hatiku. Datangnya kamu membuat hari-hari yang kelabu perlahan menyingkir dari duniaku. Mendorongku melangkah untuk menuju dunia yang lebih baik. Dan kehadiranmu telah merubah semua aspek yang ada di diriku. Seingatku, aku tidak pernah memberi pupuk untuk perasaan itu, tapi entah kenapa ia bertumbuh melebihi batas yang kutahu.

Ada perasaan khawatir atau apalah yang aku tak mengerti ketika bayangmu tidak di sampingku. Dadaku sesak menyebutkan namamu untuk kembali berada disini, di sampingku. Aku tidak mengerti dengan diriku yang selalu menurut apa yang kamu bilang. Tapi aku yakin kamu bukanlah orang yang jahat. Orang jahat yang menyuruhku terjun ke dalam sumur yang dalam, lembab dan dingin.

Aku telah mengucap bahwa aku tak akan menjadikanmu sebagai pelarian. Apakah kamu tahu maksud ini? Kalau tidak aku akan memberitahumu. Kalimat itu bemaksud bahwa aku serius. Tidak ada minat atau niat untuk menjadikanmu pelarian. Bahwa aku benar-benar sudah melupakan masa lalu dan siap untuk menghadapi masa depan. Kamu. Salahkah aku berbuat begitu? Itu hal yang wajar, bukan?

Tapi seiring waktu berlalu, ada yang aneh pada dirimu. Perhatian itu tak lagi kurasakan. Tatapan itu tak lagi kutangkap sesering dulu. Mulutmu bungkam secara mendadak. Wajahmu pun seperti enggan untuk menatap wajah ini. Sedikit demi sedikit kamu meneteskan tinta hitam di lembaran kertas berwarnaku.

Ucapan manismu membuat aku -si anak tolol- terayu dan percaya dengan itu. Ucapan manismu terdengar seperti janji. Mungkin memang janji. Sampai-sampai janji itu kusebut dengan Ucapan Manis. Dan aku sudah lupa berapa banyak janjimu yang belum kau tepati. Janjimu banyak, anak manis. Dan kamu tidak pernah mencoba untuk menepati janji-janjimu itu! Salahkah aku memikirkanmu pada malam-malam hening dan di sela-sela ada kesempatan? Apakah kamu mengetahuinya? Haha, bodoh. Tidak, pasti tidak, tak pernah. Kau terlalu sibuk dengan duniamu. Dan aku terlalu kecil untuk kamu lihat.

Mungkin pada awalnya kamu menganggapku ada dan spesial, tapi lambat laun kamu menghempaskanku dengan bulus. Membiarkanku bergulat dengan rasa rindu yang tak mungkin bisa terbalaskan. Berjuang untuk tetap menyatukan jarak yang semakin kau buat jauh. Aku tak bisa berbuat apa-apa, hanya bisa terdiam. Karena itu lebih baik.

Ingatkah bahwa kamu yang menarikku ke dalam lingkaran perasaanmu? Membuatku merasa spesial dan penting. Tapi sekarang kau membuat alasan yang tak bisa aku mengerti. Kita Tidak Bisa. 3 kata yang terus menusuk ulu hatiku. Menemaniku sepanjang mimpi-mimpi indahku yang kemudian menjadi mimpi buruk. Mungkin kamu mencoba untuk memberitahuku, tapi aku segera menutup telingaku. Tidak percaya apa pun yang kamu katakan.

Terlalu sakit untuk melihat bagaimana kamu memanjakan seseorang yang berada di sampingmu saat ini. Memberikannya perhatian lebih dari perhatianmu padaku. Menatap matanya dengan lekat, seperti aku menatapmu dengan lekat tapi tentu kamu tidak. Kamu tidak pernah berpikir akan menjadikan aku dan kamu menjadi kita. Tidak pernah berpikir bahwa kamulah yang telah membuat hatiku remuk.

Sekarang aku telah sadar bahwa kamu hanya menjadikanku pelarian. Kamu masih melihatku sebagai makhluk yang tidak penting, kecil tak terlihat. Dia lebih penting, aku tau. Kau telah membuat kertas berwarnaku menjadi hitam pekat. Menjauhlah. Itu lebih baik. Lukaku bisa terobati dengan itu.

Dan akhirnya kamu sendiri yang menyeretku keluar dari lingkaran perasaanmu. Kamu jahat. Iya, kamu telah memasukanku ke dalam sumur yang dalam, lembab dan dingin itu. Dan aku mencoba memanggil siapa pun. Tapi kau menutup telinga mereka.

Sabtu, 10 November 2012

With teermooss dan botooll

Heeyyyy :D saya mau mempublish foto-foto anak alay. Anak alay habis pulang sekolah dengan howoknya narsis di kamera laptop gue atau webcam dengan wajah yang unyuk maksimal! Kita semua histeris habis ngeliat muka kita sendiri. Mungkin kita pangkling sama muka kita sendiri, maklum takut banget sama yang namanya ngaca. Takut kacanya pecah._. okeokeee, mending check it out ajaaaa

Ini Nadya (botol) sama Gita (teermooss)



















Okay, alay bangeddd kan? Namanya juga anak alay. Si teermooss said "Deen, ini sumpah unyuk banget. Perasaan udh masang muka jelek tp kenapa muka tambah unyuk?" pede-_- Cantik kan temen-temen guee? =) @teermooss and @NadyaKrismaa :) poloow juga @Auliadenti *ngomongsendiri*

Kamis, 25 Oktober 2012

Somewhere Else

Berenang mengapung memandang langit biru. Melihat sepintas burung camar lewat untuk terbang menuju daerah lain. Awan-awan ringan bergerak perlahan ketika tertiup angin. Kurasa memang setiap detik mereka bergerak. Nun tinggi disana, lebih banyak angin dari pada di bawah sini tapi disana oxigen adalah sesuatu yang berharga. Kurasakan air laut yang membuat bagian punggungku merasakan sensasi sejuk. Sangat kontras dengan apa yang ada di bagian depan tubuhku. Panas. Terbakar. Silau. Kuputuskan untuk kembali berenang. Entah kenapa, setiap aku melihat ayah, disana ada perasaan itu lagi. Perasaan itu kembali lagi. Perasaan kehilangan yang amat dalam. Aku kasihan pada ayah. Ia sendirian. Tapi tidak selamanya sendirian. Setelah Sheila meninggal, aku jarang menghibur ayah. Aku sibuk dengan sekolahku dan ayah juga sibuk dengan pekerjaannya. Pernah, satu hari kami tidak bertemu. Tatap langsung antara mata dengan mata pun tidak. Aku bukan gadis baik. Aku tidak bisa seperti Sheila. Tapi aku bukan Sheila. Aku berbeda. Aku Elsie, bukan Sheila. Drew menyadarkanku dari dunia itu. Kuberi ia senyuman sebagai tanda aku baik-baik saja. Ia pun membalas senyumku. Lalu bermain dengan yang lain.

Beberapa saat kemudian, aku masih mengapung. Drew mengagetkanku lagi.

"Kau mau lihat ini?" kata Drew.

"Apa?"

Ia mengeluarkan kalung berliontinkan jam jaman dulu yang ia genggam sebelumnya. Bentuknya lumayan kecil. Emm bisa dibilang sedang.

"dimana kau menemukannya?" tanyaku.

"Ada di dasar. Pada saat aku menyelam, tak sengaja benda ini terinjak oleh ku,"
"menurutmu benda apa ini?" sambungnya.

"Ini hanya kalung jam, Drew. Kau terlalu mistis." kataku acuh.

"C'mon. Look, something different!"

"Save it, if we need it, someday." kataku.

Entah kenapa aku sensitif dengannya sekarang. Aku tak tau. Aku sangat dekat pada Drew. Ia juga pernah menyukaiku dulu. Tapi tak pernah berani untuk mengungkapkannya. Dia takut jika persahabatan kami akan hancur. Ah entahlah.

"aku ingin kau yang menyimpannya." katanya.

Aku berbalik. Menatap matanya yang kelabu.

Ia mengangguk pelan.

Kemudian ku ambil kalung itu dan memakainya. Supaya tidak hilang. Aku masih ingin bermain air.

Tidak terasa, matahari mulai menyerong. Tanda bahwa sore akan menjelang. Aku dan teman-temanku bergegas naik ke pantai. Mengambil anduk yang dijaga oleh ayah. Dan ayah masih tetap disini. Selama beberapa jam. Huh.

Nomor 3. Itulah nomor kamar penginapanku. Kami tidak di hotel tapi disebuah penginapan. Kamar dengan kasur pas ada tiga ranjang, satu kamar mandi dan ada balkon yang mengarah langsung ke pantai. Kuletakan semua barang-barangku di lantai, bergegas menuju kamar mandi. Kulihat, Kathy sedang membuka pintu kaca balkon yang lebar. Angin laut pun langsung memenuhi ruangan dan membuat gorden jendela berkibas.

Setelah bersih, aku mencuci muka dengan pembersih muka. Seperti krim berwarna putih tapi ada sedikit gelembung-gelembungnya. Dan harumnya harum buah-buahan. Saat melihat diriku yang hampir seperti hantu ini dikaca, tiba-tiba saja lampu mati. Pasti teman-teman. Tidak, Kathy tidak melakukannya. Adrienne. Ah memang anak itu selalu jahil.

"Heeyy. Turn on the lamp, now!" teriakku.

Tidak ada sautan. Yang terdengar hanya suara cekikikan dari Adrienne dan Kathy.

Kubuka pintu dan kutemui mereka yang sedang berada di kasur mereka masing-masing. Sedang bergurau dan bermain iPhone.

"Siapa yang mematikan lampu kamar mandi?" tanyaku.

"Bukan aku." kata Adrienne.

"Aku juga bukan." Kata Kathy.

"Adrienne?" ulangku dengan sedikit nada menuduh.

"Bukan aku, Elsie. Tanya Kathy."

"Iya, Adrienne bersamaku. Ia tidak turun dari ranjang." jelas Kathy.

Aku memandang mereka. Mereka juga memandangku. Menyadari ada sesuatu yang aneh disini. Em mungkin lampunya putus. Kulihat sakelar lampu kamar mandi. Ada yang mematikan melalui sakelar ini. Sebelumnya tidak seperti ini posisinya. Kutekan sakelar itu, lampu kamar mandi pun menyala. Bukan lampu yang putus. Seseorang pasti telah menekan sakelar ini menjadikan lampu kamar mandi menjadi mati.
Aku menunggu makan malam di kamar. Memandang pantai yang diatasnya bertabur bintang yang gemerlap. Desiran ombak memecah keheningan malam ini. Angin laut yang tak pernah berhenti menerjang gorden jendela untuk berkibas. Aku melihat layar iPhoneku. Satu pesan baru dari Drew.
           'Hey Elsie. Sedang menikmati angin pantai yang sejuk? Bisakah kau keluar ke balkon?'
Aku pun keluar menuju balkon. Dan melihat Drew beserta Egan sedang duduk di atas pasir. Saat aku melihatnya, Drew melihatku dan tersenyum. Melambaikan tangannya perlahan. Saat sedang melihatnya, ada suara yang menyita perhatianku. Aku berjalan pelan menuju asal suara. Suara itu seperti sapu-sapu yang jatuh dari ketinggian dan berdentam dengan pintu. Suara itu semakin jelas ketika aku sudah sampai di depan pintu yang berada di sebelah kaca rias. Kemudian hening. Kulangakahkan kakiku sedikit demi sedikit dan tanganku sudah menjulur untuk membuka handle pintu. Aku berhenti ketika pelayan wanita masuk ke kamarku dan tersenyum lalu mengambil kemocengnya yang tadi tertinggal. Ku abaikan dia. Dan kemudian tanganku mendarat dengan sukses di handle pintu. Ku putar kenopnya perlahan, kurasa pintu ini tidak dikunci. Aku berhitung dalam hati, 1....2....

"Don't do it!" suara itu mengagetkanku. Aku hampir saja berteriak. Tapi teriakan itu tercekat di tenggorokan.

Pelayan wanita itu sudah tepat berada di sampingku. Memegang tangan kananku yang berhasil mencapai kenop pintu. Memandangku dengan tatapan penuh dengan kekesalan. Apa aku melakukan hal yang salah?

"Don't do it, Elsie!"

"Why?" tanyaku heran.

Ia menggelengkan kepalanya, "Berbahaya." Ia memandang kalungku. Kalung jam yang diberikan oleh Drew tadi siang.

"Dari mana kau temukan itu?"

Aku memandang kalungku, "Maksudmu, ini?" aku memegang bandulnya.

"Ya, dimana kau menemukannya?"

"Entahlah, temanku yang menemukannya. Ada masalah?"

Ia menatapku aneh, dia diam. Kemudian ia mundur selangkah, "Tidak. Jaga dirimu." Ia pun keluar dari kamarku. Setelah ia mengunci pintu yang ada di depanku.

Apa maksudnya? Melarangku membuka pintu itu. Kalung. Jaga dirimu. Mengunci. Penginapan ini aneh.

Makan malam pun tiba. Kami semua turun dan menuju ke ruang makan.
Aneh. Penginapan ini sepi. Seharusnya ramai jika musim panas. Turis akan senang berada di tempat seperti ini. Dan kurasa hanya ada 3 pengunjung yang menginap disini.

Sup octopus dengan pulm kering. Iga kelinci dengan saus kacang merah. Ayam panggang yang entah diberi bumbu apa, bentuk dan aromanya tidak terlalu menggoda. Kupilih sup octopus dengan pulm kering.

Saat makan, seorang pelayan pria memandangiku sedari tadi. Aku menjadi merasa tidak enak. Memandangku dengan tatapan awas. Seakan aku adalah buronan yang sedang menikmati hidangan makan malam yang mewah dan bisa kabur kapan pun aku mau jika tidak di awasi. Datanglah pelayan perempuan di sampingnya. Ia juga melihatiku. Huh menyebalkan. Aku pun membalasnya dengan tatapan mengancam. Dan mereka pun pergi.

"Masih kau pakai?" Drew melihat kalung jam yang ia berikan padaku tadi siang.

"Ya,"
"Kau tahu pelayan wanita tadi masuk ke kamarku. Ia melarangku membuka pintu yg ada di kamarku dan bertanya tentang kalung."

"Benarkah? Apa katanya?"

"Ia menyuruhku menjaga diriku. Aku tidak mengerti apa maksudnya."

Drew diam sejenak, lalu menambahkan, "Sudahlah. Makan makananmu, nanti keburu dingin."

Baiklah. Lagi pula aku juga tidak ingin makananku cepat dingin. Ini sungguh enak jika dimakan selagi panas. Ku pandang dinding yang ada di sebelahku. Ada foto seorang pria yang dimasukan kedalam bingkai ukiran yang besar dan berlapis emas. Laki-laki dengan rambut yang sudah memutih dan hanya tinggal di belakang kepala saja. Memakai jas hitam lengkap dengan dasi. Memakai kalung. Kulihat namanya yang diberi kotak pinggirnya. Finnick Jaderthelwis. Mantan perwira tinggi yang mati dibunuh gara-gara lawannya menginginkan kalung yang ia pakai. Tapi Finnick membuangnya entah dimana, dan belum ada yang menemukan benda bersejarah itu. Katanya, kalung itu memiliki daya yang entahlah aku tidak mengerti, karena pada saat bagian itu dijelaskan dalam buku, bagian itu sobek terkena air. Makanya, para lawannya menginginkan itu darinya. Selama ini aku belum pernah melihat bagaimana kalung itu. Dia juga yang mendirikan penginapan di dekat pantai. Dan aku dengar-dengar, para lawan itu -turun temurun. Cucunya atau cicitnya sang lawan sejatinya Finnick- sedang menyari kalung itu lagi. Aku tahu kisahnya karena aku pernah membacanya di perpustakaan. Kulihat kalungnya yang sedikit tertutupi oleh jasnya. Kalung jam. Kalung yang sama. Sedang kukenakan.

Dan kami menemukannya. Dan akulah buronan.

To be continue.

Somewhere Else

"Selamat pagii, Elsieee!". Sorak seseorang membangunkanku dari tidur yang nyenyak. Membuka tirai jendela lebar-lebar dan memperlihatkan matahari yang masih malu-malu untuk keluar dari persembunyiannya.

"Ayah?". Kusipitkan mata untuk melihatnya. Karena ayah tepat berdiri membelakangi matahari. Dan itu membuatnya menjadi hitam dan tidak terlalu kelihatan.

"Ya.. It's summer, Elsie! Lihatlah, matahari yang manis itu." Ayah menunjuk matahari yang jaraknya pasti berjuta-juta kilo meter dari sini. Matahari yang belum terlalu nampak.

Ehem.. Let me tell you. Ayah memang seperti itu, kocak dan sedikit aneh. Tapi dia orang yang tegas dan bertanggung jawab.

"Lalu?". Tanyaku perlahan. Aku tak mengerti maksud ayah apa. Ini sudah menjadi hal yang biasa -pergantian musim-. Aku tak pernah sebahagia ayah ketika menyambut musim berganti, seperti tadi. Semua tampak sama dan selalu terulang kembali. Kecuali ada sesuatu hal yang bisa membuatku bahagia tepat pada pergantian musim, seperti habisnya musim gugur yang akan segera berganti dengan musim dingin, yang artinya natal akan segera hadir. Tapi.. aku benci musim dingin. Benci salju. Karena musim dingin, adik perempuanku meninggal pada umur 12 tahun. Masa-masa yang kelam. Lalu pada musim semi, aku hanya melihat bunga-bunga bermekaran, suara burung yang terdengar di pagi hari, air sungai yang mengalir jernih, rumput kembali hijau dan datangnya sedikit matahari. Pada musim panas, sekolah di liburkan untuk beberapa minggu. Berendam dalam kolam renang yang rasanya seperti berkubang dalam air surga yang dikelilingi oleh lingkaran api panas yang membahana. Melihat sapi, domba, dan kuda merumput di padang rumput yang terbentang luas dekat rumah. Dan pada musim gugur, hanya ada daun-daun berguguran dari tangkai. Membuat daun-daun itu terbang di bawa angin atau yang kurang beruntung, jatuh di tanah yang lembab. Itu saja. Begitupun seterusnya. Semua terulang kembali.

"Kita akan jalan-jalan!" sorak ayah. "Kemari, ayo kita turun ke bawah. Teman-temanmu pasti sudah menunggu." tambahnya seraya menarik tanganku perlahan. Kulirik jam dinding di kamar. Pukul 6 pagi.
Teman-teman? Pukul 6 pagi?

Dan benar. Mereka ada disini. Di rumahku. Masih memakai piama. Sedang terkantuk di sofa panjang ruang tengah. Disana ada Dhery, Kathy, Drew, Egan dan Adrienne. Aku tak tau bagaimana cara ayah bisa membawa mereka semua kesini.

"Ayah, bagaimana....". Kata-kataku di sela dengan muka ayah yang menandakan 'Tenang, percayalah padaku. Semua berjalan dengan baik.'

"Hei.." sapaku perlahan dan duduk di salah satu sofa yang kosong. Menghadap lima orang anak ingusan yang masih mengantuk, dengan kepala mereka bersender pada bahu teman lain.

Drew bangun, kemudian ia membangunkan yang lain. Berasa seperti putri raja yang dayang-dayangnya harus sudah siap untuk bertemu dengannya dalam keadaan baik.

"Bagaimana ayahku bisa membawa kalian kesini? Masih memakai piama?" tanyaku pada mereka.

Mereka tampak lelah. Oh Ya Tuhan, apa yang sudah dilakukan ayahku pada anak-anak ini yang sedang membersihkan kotoran dari ujung bibirnya? Oke itu menjijikan.

Mereka semua tersenyum, "Pastinya dengan cara yang sopan." kata Drew.

"Tidak dengaan kekerasan." timpal Egan.

"Dan ayahmu tidak menculik dan memasukan kami ke dalam sarung bekas yang bau dan lembab." tukas Dhery.

"Sshh. Diam. Tidak, Elsie. Tadi malam kami diam-diam ke sini. Kata ayahmu, kita akan berlibur." kata Kathy menjelaskan.

"Menginap?" tanyaku.

"Ya, kami menginap. Tentu saja."

Aku tidak mengerti, Apa maksud ayah? Apa yang akan ayah lakukan pada kami semua? Membuat kelompok bermain dan mengirim kami ke tempat penampungan anak jalanan? Oh, tidak. Tentu tidak.

"Kita akan berlibur di pantai dan menginap di hotel terdekat dengan pantai." Kata Adrienne.

"Ini semacam surprice... untukku?" kataku pelan.

Kemudian ayah datang dan duduk di sampingku, "Ya semacam itu. Lagi pula, kita sudah lama kan tidak berlibur?". Terdengar suara serak di sana. Ayah pasti sedang bersedih mengingat Ibu dan adik perempuanku, Sheila. Sebelumnya aku dan ayah memang tidak pernah berlibur setelah kematian Sheila. Mungkin ayah sudah bosan berkabung berlarut-larut. Dan ayah kembali pada kehidupan nyata. Kurasakan kerinduan yang mendalam ayah pada Sheila. Sheila adalah anak yang paling ayah sayangi. Ayah sayang pada Sheila karena mata Sheila yang sama dengan mata ibuku. Mata besar berbinar berwarna biru laut dengan sedikit warna kelabu. Sifatnya pun nyaris sama, anggun, berwibawa, sangat baik, murah senyum dan pandai meracik ramu ramuan. Tapi sayang itu semua sudah menjadi masa lau yang takkan pernah ayah dan aku lupakan. Takkan pernah. Dua orang yang amat aku sayang, yang memberikan kasih sayang tulus padaku, tanpa pamrih dan selalu menjagaku. Ya, terkadang menyakitkan jika potongan-potongan masa lalu itu terbayang kembali.

"Jadi, kapan kita akan memulai?" tanyaku pada ayah.

"Oh, sekarang. Tapi kalian harus bersiap-siap diri. Membawa perlengkapan kalian," ia berdiri, lalu menambahkan, "ayah ingin menyiram tanaman dulu." ia pun berlalu.

Ayah akan mengajakku ke pantai? Apa ayah lupa kalau aku membenci keramaian? Tapi entahlah. Ada rasa yang aneh. Bukan karena sifat ayah yang aneh, tapi tentang tempat tujuan kita nanti. Ya sudahlah, lihat saja nanti apa yang akan terjadi.

Kami sudah siap tepat pada pukul 10 pagi. Ternyata kami lama sekali untuk bersiap-siap. Kami semua menunggu di sofa ruang tengah. Dengan barang bawaan yang rata-rata tas ransel berukuran sedang di letakan di lantai dekat kami. Aku menunggu dengan mengotak-atik kamera dslrku. Sudah lumayan lama aku tidak menggunakannya, dan saat ku coba lagi, masih bisa.

"Ayaaahh. Ayoo." teriakku memanggil ayah yang entah berada di mana. Atau masih menyiram tanaman?

Ayah masuk ke rumah dengan pakaian yang masih sama saat membangunkanku tadi pagi. Dengan telanjang kaki yang basah mengotori lantai.

"Sudah siap? Oke, ayah akan mandi dan bersiap-siap." lalu ayah mencuci kakinya di kamar mandi dan melesat ke kamarnya.

Udara panas yang masuk ke dalam rumah membuat tempat ini lembab dan sumpek. Pendingin udara tidak cukup ampuh untuk membuat kami merasa sejuk. Akhirnya, setelah menahan panas, kubuka jaket yang sedari tadi ku kenakan. Mengikat rambutku yang tergerai menjadi konde.Teman-temanku juga sama, melepas jaket dan mengikat rambut mereka-bagi perempuan- . Ada 2 lembar koran terletak di sorong meja, ku ambil semuanya dan ku kipas-kipaskan di samping leherku. Merasakan angin yang tidak begitu kencang tapi cukup untuk menghentikan keringat yang sedari tadi mengucur. Musim panas yang amat panas. Jika kami tidak pergi, aku akan berendam seharian di kolam renang sampai matahari terbenam menyisakan siratan-siratan cahaya yang temaram. Dengan begitu aku takkan merasakan kepanasan, tidak akan ada keringat yang membanjiri wajah. Menunggu ayah bersiap-siap membuatku mengantuk, begitu juga teman-temanku. Akhirnya, mata ini sudah tak dapat di ajak kompromi kembali. Perlahan dunia mimpi mulai masuk ke alam bawah sadarku.

"Anak-anak ayo kita berangkaatt!" sorak ayah membangunkan tidurku. Dengan memakai pakaian yang berbahan tipis berwarna merah mencolok, ayah melangkah penuh percaya diri menuju tempatku tertidur. Kulihat jam yang menempel di pergelangan tangannku, jarum jam menunjukan pukul 11. Aku tertidur selama satu jam, tepatnya kami tertidur dlm satu jam. Dan berarti, ayah membutuhkan waktu 1 jam untuk berganti pakaian? Ya Tuhan. Kami mengulet badan dulu sebelum duduk dengan tegak. Udara panas tetap terjaga di ruangan ini. Kemudian kami semua berangkat.

Perjalanan ini lumayan jauh. Karena rumah ku dengan pantai memaang jauh. Rumahku bisa di bilang dekat dengan pedesaan, sedangkan pedesaan ini jauh dari pantai. Tapi entah, ayah akan membawa kami menuju pantai yang mana. Sepanjang perjalanan kami semua hanya mendengarkan musik dari handphone kami masing-masing. Rasa kantuk yang belum sepenuhnya hilang, membuat kami tidak berbicara. Mengarahkan pandangan pada pemandangan yang terbentang di sisi kiri dan kanan kami. Beruntung karena di dalam mobil tidak panas seperti di rumah. Kaca mobil sengaja di buka, agar angin masuk dan menghilangkan keringat kami dan membuang bau keringat yang sedari tadi mengganggu indra penciuman kami.

Setelah 3 jam perjalanan, kami sampai di pantai. Sebelumnya aku tak pernah melihat pantai ini sebelumnya. Dan ajaibnya pantai ini tidak banyak orang yang berkunjung untuk berjemur atau berenang. Hanya beberapa saja. Mata kami langsung berbinar melihat air laut yang melimpah terbentang disana. Kami semua langsung berlari menuju ke bibir pantai, berganti pakaian dengan baju renang. Kemudian byuuurr... Indahnya musim panas ini. Ayah hanya melihat kita bermain air. Ia duduk di atas ribuan pasir putih yang halus. Menatap kosong birunya langit siang. Terkadang, burung-burung pemangsa lewat di atas sana.

To be continuee