Kamis, 25 Oktober 2012

Somewhere Else

"Selamat pagii, Elsieee!". Sorak seseorang membangunkanku dari tidur yang nyenyak. Membuka tirai jendela lebar-lebar dan memperlihatkan matahari yang masih malu-malu untuk keluar dari persembunyiannya.

"Ayah?". Kusipitkan mata untuk melihatnya. Karena ayah tepat berdiri membelakangi matahari. Dan itu membuatnya menjadi hitam dan tidak terlalu kelihatan.

"Ya.. It's summer, Elsie! Lihatlah, matahari yang manis itu." Ayah menunjuk matahari yang jaraknya pasti berjuta-juta kilo meter dari sini. Matahari yang belum terlalu nampak.

Ehem.. Let me tell you. Ayah memang seperti itu, kocak dan sedikit aneh. Tapi dia orang yang tegas dan bertanggung jawab.

"Lalu?". Tanyaku perlahan. Aku tak mengerti maksud ayah apa. Ini sudah menjadi hal yang biasa -pergantian musim-. Aku tak pernah sebahagia ayah ketika menyambut musim berganti, seperti tadi. Semua tampak sama dan selalu terulang kembali. Kecuali ada sesuatu hal yang bisa membuatku bahagia tepat pada pergantian musim, seperti habisnya musim gugur yang akan segera berganti dengan musim dingin, yang artinya natal akan segera hadir. Tapi.. aku benci musim dingin. Benci salju. Karena musim dingin, adik perempuanku meninggal pada umur 12 tahun. Masa-masa yang kelam. Lalu pada musim semi, aku hanya melihat bunga-bunga bermekaran, suara burung yang terdengar di pagi hari, air sungai yang mengalir jernih, rumput kembali hijau dan datangnya sedikit matahari. Pada musim panas, sekolah di liburkan untuk beberapa minggu. Berendam dalam kolam renang yang rasanya seperti berkubang dalam air surga yang dikelilingi oleh lingkaran api panas yang membahana. Melihat sapi, domba, dan kuda merumput di padang rumput yang terbentang luas dekat rumah. Dan pada musim gugur, hanya ada daun-daun berguguran dari tangkai. Membuat daun-daun itu terbang di bawa angin atau yang kurang beruntung, jatuh di tanah yang lembab. Itu saja. Begitupun seterusnya. Semua terulang kembali.

"Kita akan jalan-jalan!" sorak ayah. "Kemari, ayo kita turun ke bawah. Teman-temanmu pasti sudah menunggu." tambahnya seraya menarik tanganku perlahan. Kulirik jam dinding di kamar. Pukul 6 pagi.
Teman-teman? Pukul 6 pagi?

Dan benar. Mereka ada disini. Di rumahku. Masih memakai piama. Sedang terkantuk di sofa panjang ruang tengah. Disana ada Dhery, Kathy, Drew, Egan dan Adrienne. Aku tak tau bagaimana cara ayah bisa membawa mereka semua kesini.

"Ayah, bagaimana....". Kata-kataku di sela dengan muka ayah yang menandakan 'Tenang, percayalah padaku. Semua berjalan dengan baik.'

"Hei.." sapaku perlahan dan duduk di salah satu sofa yang kosong. Menghadap lima orang anak ingusan yang masih mengantuk, dengan kepala mereka bersender pada bahu teman lain.

Drew bangun, kemudian ia membangunkan yang lain. Berasa seperti putri raja yang dayang-dayangnya harus sudah siap untuk bertemu dengannya dalam keadaan baik.

"Bagaimana ayahku bisa membawa kalian kesini? Masih memakai piama?" tanyaku pada mereka.

Mereka tampak lelah. Oh Ya Tuhan, apa yang sudah dilakukan ayahku pada anak-anak ini yang sedang membersihkan kotoran dari ujung bibirnya? Oke itu menjijikan.

Mereka semua tersenyum, "Pastinya dengan cara yang sopan." kata Drew.

"Tidak dengaan kekerasan." timpal Egan.

"Dan ayahmu tidak menculik dan memasukan kami ke dalam sarung bekas yang bau dan lembab." tukas Dhery.

"Sshh. Diam. Tidak, Elsie. Tadi malam kami diam-diam ke sini. Kata ayahmu, kita akan berlibur." kata Kathy menjelaskan.

"Menginap?" tanyaku.

"Ya, kami menginap. Tentu saja."

Aku tidak mengerti, Apa maksud ayah? Apa yang akan ayah lakukan pada kami semua? Membuat kelompok bermain dan mengirim kami ke tempat penampungan anak jalanan? Oh, tidak. Tentu tidak.

"Kita akan berlibur di pantai dan menginap di hotel terdekat dengan pantai." Kata Adrienne.

"Ini semacam surprice... untukku?" kataku pelan.

Kemudian ayah datang dan duduk di sampingku, "Ya semacam itu. Lagi pula, kita sudah lama kan tidak berlibur?". Terdengar suara serak di sana. Ayah pasti sedang bersedih mengingat Ibu dan adik perempuanku, Sheila. Sebelumnya aku dan ayah memang tidak pernah berlibur setelah kematian Sheila. Mungkin ayah sudah bosan berkabung berlarut-larut. Dan ayah kembali pada kehidupan nyata. Kurasakan kerinduan yang mendalam ayah pada Sheila. Sheila adalah anak yang paling ayah sayangi. Ayah sayang pada Sheila karena mata Sheila yang sama dengan mata ibuku. Mata besar berbinar berwarna biru laut dengan sedikit warna kelabu. Sifatnya pun nyaris sama, anggun, berwibawa, sangat baik, murah senyum dan pandai meracik ramu ramuan. Tapi sayang itu semua sudah menjadi masa lau yang takkan pernah ayah dan aku lupakan. Takkan pernah. Dua orang yang amat aku sayang, yang memberikan kasih sayang tulus padaku, tanpa pamrih dan selalu menjagaku. Ya, terkadang menyakitkan jika potongan-potongan masa lalu itu terbayang kembali.

"Jadi, kapan kita akan memulai?" tanyaku pada ayah.

"Oh, sekarang. Tapi kalian harus bersiap-siap diri. Membawa perlengkapan kalian," ia berdiri, lalu menambahkan, "ayah ingin menyiram tanaman dulu." ia pun berlalu.

Ayah akan mengajakku ke pantai? Apa ayah lupa kalau aku membenci keramaian? Tapi entahlah. Ada rasa yang aneh. Bukan karena sifat ayah yang aneh, tapi tentang tempat tujuan kita nanti. Ya sudahlah, lihat saja nanti apa yang akan terjadi.

Kami sudah siap tepat pada pukul 10 pagi. Ternyata kami lama sekali untuk bersiap-siap. Kami semua menunggu di sofa ruang tengah. Dengan barang bawaan yang rata-rata tas ransel berukuran sedang di letakan di lantai dekat kami. Aku menunggu dengan mengotak-atik kamera dslrku. Sudah lumayan lama aku tidak menggunakannya, dan saat ku coba lagi, masih bisa.

"Ayaaahh. Ayoo." teriakku memanggil ayah yang entah berada di mana. Atau masih menyiram tanaman?

Ayah masuk ke rumah dengan pakaian yang masih sama saat membangunkanku tadi pagi. Dengan telanjang kaki yang basah mengotori lantai.

"Sudah siap? Oke, ayah akan mandi dan bersiap-siap." lalu ayah mencuci kakinya di kamar mandi dan melesat ke kamarnya.

Udara panas yang masuk ke dalam rumah membuat tempat ini lembab dan sumpek. Pendingin udara tidak cukup ampuh untuk membuat kami merasa sejuk. Akhirnya, setelah menahan panas, kubuka jaket yang sedari tadi ku kenakan. Mengikat rambutku yang tergerai menjadi konde.Teman-temanku juga sama, melepas jaket dan mengikat rambut mereka-bagi perempuan- . Ada 2 lembar koran terletak di sorong meja, ku ambil semuanya dan ku kipas-kipaskan di samping leherku. Merasakan angin yang tidak begitu kencang tapi cukup untuk menghentikan keringat yang sedari tadi mengucur. Musim panas yang amat panas. Jika kami tidak pergi, aku akan berendam seharian di kolam renang sampai matahari terbenam menyisakan siratan-siratan cahaya yang temaram. Dengan begitu aku takkan merasakan kepanasan, tidak akan ada keringat yang membanjiri wajah. Menunggu ayah bersiap-siap membuatku mengantuk, begitu juga teman-temanku. Akhirnya, mata ini sudah tak dapat di ajak kompromi kembali. Perlahan dunia mimpi mulai masuk ke alam bawah sadarku.

"Anak-anak ayo kita berangkaatt!" sorak ayah membangunkan tidurku. Dengan memakai pakaian yang berbahan tipis berwarna merah mencolok, ayah melangkah penuh percaya diri menuju tempatku tertidur. Kulihat jam yang menempel di pergelangan tangannku, jarum jam menunjukan pukul 11. Aku tertidur selama satu jam, tepatnya kami tertidur dlm satu jam. Dan berarti, ayah membutuhkan waktu 1 jam untuk berganti pakaian? Ya Tuhan. Kami mengulet badan dulu sebelum duduk dengan tegak. Udara panas tetap terjaga di ruangan ini. Kemudian kami semua berangkat.

Perjalanan ini lumayan jauh. Karena rumah ku dengan pantai memaang jauh. Rumahku bisa di bilang dekat dengan pedesaan, sedangkan pedesaan ini jauh dari pantai. Tapi entah, ayah akan membawa kami menuju pantai yang mana. Sepanjang perjalanan kami semua hanya mendengarkan musik dari handphone kami masing-masing. Rasa kantuk yang belum sepenuhnya hilang, membuat kami tidak berbicara. Mengarahkan pandangan pada pemandangan yang terbentang di sisi kiri dan kanan kami. Beruntung karena di dalam mobil tidak panas seperti di rumah. Kaca mobil sengaja di buka, agar angin masuk dan menghilangkan keringat kami dan membuang bau keringat yang sedari tadi mengganggu indra penciuman kami.

Setelah 3 jam perjalanan, kami sampai di pantai. Sebelumnya aku tak pernah melihat pantai ini sebelumnya. Dan ajaibnya pantai ini tidak banyak orang yang berkunjung untuk berjemur atau berenang. Hanya beberapa saja. Mata kami langsung berbinar melihat air laut yang melimpah terbentang disana. Kami semua langsung berlari menuju ke bibir pantai, berganti pakaian dengan baju renang. Kemudian byuuurr... Indahnya musim panas ini. Ayah hanya melihat kita bermain air. Ia duduk di atas ribuan pasir putih yang halus. Menatap kosong birunya langit siang. Terkadang, burung-burung pemangsa lewat di atas sana.

To be continuee

Tidak ada komentar:

Posting Komentar