Kamis, 25 Oktober 2012

Somewhere Else

Berenang mengapung memandang langit biru. Melihat sepintas burung camar lewat untuk terbang menuju daerah lain. Awan-awan ringan bergerak perlahan ketika tertiup angin. Kurasa memang setiap detik mereka bergerak. Nun tinggi disana, lebih banyak angin dari pada di bawah sini tapi disana oxigen adalah sesuatu yang berharga. Kurasakan air laut yang membuat bagian punggungku merasakan sensasi sejuk. Sangat kontras dengan apa yang ada di bagian depan tubuhku. Panas. Terbakar. Silau. Kuputuskan untuk kembali berenang. Entah kenapa, setiap aku melihat ayah, disana ada perasaan itu lagi. Perasaan itu kembali lagi. Perasaan kehilangan yang amat dalam. Aku kasihan pada ayah. Ia sendirian. Tapi tidak selamanya sendirian. Setelah Sheila meninggal, aku jarang menghibur ayah. Aku sibuk dengan sekolahku dan ayah juga sibuk dengan pekerjaannya. Pernah, satu hari kami tidak bertemu. Tatap langsung antara mata dengan mata pun tidak. Aku bukan gadis baik. Aku tidak bisa seperti Sheila. Tapi aku bukan Sheila. Aku berbeda. Aku Elsie, bukan Sheila. Drew menyadarkanku dari dunia itu. Kuberi ia senyuman sebagai tanda aku baik-baik saja. Ia pun membalas senyumku. Lalu bermain dengan yang lain.

Beberapa saat kemudian, aku masih mengapung. Drew mengagetkanku lagi.

"Kau mau lihat ini?" kata Drew.

"Apa?"

Ia mengeluarkan kalung berliontinkan jam jaman dulu yang ia genggam sebelumnya. Bentuknya lumayan kecil. Emm bisa dibilang sedang.

"dimana kau menemukannya?" tanyaku.

"Ada di dasar. Pada saat aku menyelam, tak sengaja benda ini terinjak oleh ku,"
"menurutmu benda apa ini?" sambungnya.

"Ini hanya kalung jam, Drew. Kau terlalu mistis." kataku acuh.

"C'mon. Look, something different!"

"Save it, if we need it, someday." kataku.

Entah kenapa aku sensitif dengannya sekarang. Aku tak tau. Aku sangat dekat pada Drew. Ia juga pernah menyukaiku dulu. Tapi tak pernah berani untuk mengungkapkannya. Dia takut jika persahabatan kami akan hancur. Ah entahlah.

"aku ingin kau yang menyimpannya." katanya.

Aku berbalik. Menatap matanya yang kelabu.

Ia mengangguk pelan.

Kemudian ku ambil kalung itu dan memakainya. Supaya tidak hilang. Aku masih ingin bermain air.

Tidak terasa, matahari mulai menyerong. Tanda bahwa sore akan menjelang. Aku dan teman-temanku bergegas naik ke pantai. Mengambil anduk yang dijaga oleh ayah. Dan ayah masih tetap disini. Selama beberapa jam. Huh.

Nomor 3. Itulah nomor kamar penginapanku. Kami tidak di hotel tapi disebuah penginapan. Kamar dengan kasur pas ada tiga ranjang, satu kamar mandi dan ada balkon yang mengarah langsung ke pantai. Kuletakan semua barang-barangku di lantai, bergegas menuju kamar mandi. Kulihat, Kathy sedang membuka pintu kaca balkon yang lebar. Angin laut pun langsung memenuhi ruangan dan membuat gorden jendela berkibas.

Setelah bersih, aku mencuci muka dengan pembersih muka. Seperti krim berwarna putih tapi ada sedikit gelembung-gelembungnya. Dan harumnya harum buah-buahan. Saat melihat diriku yang hampir seperti hantu ini dikaca, tiba-tiba saja lampu mati. Pasti teman-teman. Tidak, Kathy tidak melakukannya. Adrienne. Ah memang anak itu selalu jahil.

"Heeyy. Turn on the lamp, now!" teriakku.

Tidak ada sautan. Yang terdengar hanya suara cekikikan dari Adrienne dan Kathy.

Kubuka pintu dan kutemui mereka yang sedang berada di kasur mereka masing-masing. Sedang bergurau dan bermain iPhone.

"Siapa yang mematikan lampu kamar mandi?" tanyaku.

"Bukan aku." kata Adrienne.

"Aku juga bukan." Kata Kathy.

"Adrienne?" ulangku dengan sedikit nada menuduh.

"Bukan aku, Elsie. Tanya Kathy."

"Iya, Adrienne bersamaku. Ia tidak turun dari ranjang." jelas Kathy.

Aku memandang mereka. Mereka juga memandangku. Menyadari ada sesuatu yang aneh disini. Em mungkin lampunya putus. Kulihat sakelar lampu kamar mandi. Ada yang mematikan melalui sakelar ini. Sebelumnya tidak seperti ini posisinya. Kutekan sakelar itu, lampu kamar mandi pun menyala. Bukan lampu yang putus. Seseorang pasti telah menekan sakelar ini menjadikan lampu kamar mandi menjadi mati.
Aku menunggu makan malam di kamar. Memandang pantai yang diatasnya bertabur bintang yang gemerlap. Desiran ombak memecah keheningan malam ini. Angin laut yang tak pernah berhenti menerjang gorden jendela untuk berkibas. Aku melihat layar iPhoneku. Satu pesan baru dari Drew.
           'Hey Elsie. Sedang menikmati angin pantai yang sejuk? Bisakah kau keluar ke balkon?'
Aku pun keluar menuju balkon. Dan melihat Drew beserta Egan sedang duduk di atas pasir. Saat aku melihatnya, Drew melihatku dan tersenyum. Melambaikan tangannya perlahan. Saat sedang melihatnya, ada suara yang menyita perhatianku. Aku berjalan pelan menuju asal suara. Suara itu seperti sapu-sapu yang jatuh dari ketinggian dan berdentam dengan pintu. Suara itu semakin jelas ketika aku sudah sampai di depan pintu yang berada di sebelah kaca rias. Kemudian hening. Kulangakahkan kakiku sedikit demi sedikit dan tanganku sudah menjulur untuk membuka handle pintu. Aku berhenti ketika pelayan wanita masuk ke kamarku dan tersenyum lalu mengambil kemocengnya yang tadi tertinggal. Ku abaikan dia. Dan kemudian tanganku mendarat dengan sukses di handle pintu. Ku putar kenopnya perlahan, kurasa pintu ini tidak dikunci. Aku berhitung dalam hati, 1....2....

"Don't do it!" suara itu mengagetkanku. Aku hampir saja berteriak. Tapi teriakan itu tercekat di tenggorokan.

Pelayan wanita itu sudah tepat berada di sampingku. Memegang tangan kananku yang berhasil mencapai kenop pintu. Memandangku dengan tatapan penuh dengan kekesalan. Apa aku melakukan hal yang salah?

"Don't do it, Elsie!"

"Why?" tanyaku heran.

Ia menggelengkan kepalanya, "Berbahaya." Ia memandang kalungku. Kalung jam yang diberikan oleh Drew tadi siang.

"Dari mana kau temukan itu?"

Aku memandang kalungku, "Maksudmu, ini?" aku memegang bandulnya.

"Ya, dimana kau menemukannya?"

"Entahlah, temanku yang menemukannya. Ada masalah?"

Ia menatapku aneh, dia diam. Kemudian ia mundur selangkah, "Tidak. Jaga dirimu." Ia pun keluar dari kamarku. Setelah ia mengunci pintu yang ada di depanku.

Apa maksudnya? Melarangku membuka pintu itu. Kalung. Jaga dirimu. Mengunci. Penginapan ini aneh.

Makan malam pun tiba. Kami semua turun dan menuju ke ruang makan.
Aneh. Penginapan ini sepi. Seharusnya ramai jika musim panas. Turis akan senang berada di tempat seperti ini. Dan kurasa hanya ada 3 pengunjung yang menginap disini.

Sup octopus dengan pulm kering. Iga kelinci dengan saus kacang merah. Ayam panggang yang entah diberi bumbu apa, bentuk dan aromanya tidak terlalu menggoda. Kupilih sup octopus dengan pulm kering.

Saat makan, seorang pelayan pria memandangiku sedari tadi. Aku menjadi merasa tidak enak. Memandangku dengan tatapan awas. Seakan aku adalah buronan yang sedang menikmati hidangan makan malam yang mewah dan bisa kabur kapan pun aku mau jika tidak di awasi. Datanglah pelayan perempuan di sampingnya. Ia juga melihatiku. Huh menyebalkan. Aku pun membalasnya dengan tatapan mengancam. Dan mereka pun pergi.

"Masih kau pakai?" Drew melihat kalung jam yang ia berikan padaku tadi siang.

"Ya,"
"Kau tahu pelayan wanita tadi masuk ke kamarku. Ia melarangku membuka pintu yg ada di kamarku dan bertanya tentang kalung."

"Benarkah? Apa katanya?"

"Ia menyuruhku menjaga diriku. Aku tidak mengerti apa maksudnya."

Drew diam sejenak, lalu menambahkan, "Sudahlah. Makan makananmu, nanti keburu dingin."

Baiklah. Lagi pula aku juga tidak ingin makananku cepat dingin. Ini sungguh enak jika dimakan selagi panas. Ku pandang dinding yang ada di sebelahku. Ada foto seorang pria yang dimasukan kedalam bingkai ukiran yang besar dan berlapis emas. Laki-laki dengan rambut yang sudah memutih dan hanya tinggal di belakang kepala saja. Memakai jas hitam lengkap dengan dasi. Memakai kalung. Kulihat namanya yang diberi kotak pinggirnya. Finnick Jaderthelwis. Mantan perwira tinggi yang mati dibunuh gara-gara lawannya menginginkan kalung yang ia pakai. Tapi Finnick membuangnya entah dimana, dan belum ada yang menemukan benda bersejarah itu. Katanya, kalung itu memiliki daya yang entahlah aku tidak mengerti, karena pada saat bagian itu dijelaskan dalam buku, bagian itu sobek terkena air. Makanya, para lawannya menginginkan itu darinya. Selama ini aku belum pernah melihat bagaimana kalung itu. Dia juga yang mendirikan penginapan di dekat pantai. Dan aku dengar-dengar, para lawan itu -turun temurun. Cucunya atau cicitnya sang lawan sejatinya Finnick- sedang menyari kalung itu lagi. Aku tahu kisahnya karena aku pernah membacanya di perpustakaan. Kulihat kalungnya yang sedikit tertutupi oleh jasnya. Kalung jam. Kalung yang sama. Sedang kukenakan.

Dan kami menemukannya. Dan akulah buronan.

To be continue.

Somewhere Else

"Selamat pagii, Elsieee!". Sorak seseorang membangunkanku dari tidur yang nyenyak. Membuka tirai jendela lebar-lebar dan memperlihatkan matahari yang masih malu-malu untuk keluar dari persembunyiannya.

"Ayah?". Kusipitkan mata untuk melihatnya. Karena ayah tepat berdiri membelakangi matahari. Dan itu membuatnya menjadi hitam dan tidak terlalu kelihatan.

"Ya.. It's summer, Elsie! Lihatlah, matahari yang manis itu." Ayah menunjuk matahari yang jaraknya pasti berjuta-juta kilo meter dari sini. Matahari yang belum terlalu nampak.

Ehem.. Let me tell you. Ayah memang seperti itu, kocak dan sedikit aneh. Tapi dia orang yang tegas dan bertanggung jawab.

"Lalu?". Tanyaku perlahan. Aku tak mengerti maksud ayah apa. Ini sudah menjadi hal yang biasa -pergantian musim-. Aku tak pernah sebahagia ayah ketika menyambut musim berganti, seperti tadi. Semua tampak sama dan selalu terulang kembali. Kecuali ada sesuatu hal yang bisa membuatku bahagia tepat pada pergantian musim, seperti habisnya musim gugur yang akan segera berganti dengan musim dingin, yang artinya natal akan segera hadir. Tapi.. aku benci musim dingin. Benci salju. Karena musim dingin, adik perempuanku meninggal pada umur 12 tahun. Masa-masa yang kelam. Lalu pada musim semi, aku hanya melihat bunga-bunga bermekaran, suara burung yang terdengar di pagi hari, air sungai yang mengalir jernih, rumput kembali hijau dan datangnya sedikit matahari. Pada musim panas, sekolah di liburkan untuk beberapa minggu. Berendam dalam kolam renang yang rasanya seperti berkubang dalam air surga yang dikelilingi oleh lingkaran api panas yang membahana. Melihat sapi, domba, dan kuda merumput di padang rumput yang terbentang luas dekat rumah. Dan pada musim gugur, hanya ada daun-daun berguguran dari tangkai. Membuat daun-daun itu terbang di bawa angin atau yang kurang beruntung, jatuh di tanah yang lembab. Itu saja. Begitupun seterusnya. Semua terulang kembali.

"Kita akan jalan-jalan!" sorak ayah. "Kemari, ayo kita turun ke bawah. Teman-temanmu pasti sudah menunggu." tambahnya seraya menarik tanganku perlahan. Kulirik jam dinding di kamar. Pukul 6 pagi.
Teman-teman? Pukul 6 pagi?

Dan benar. Mereka ada disini. Di rumahku. Masih memakai piama. Sedang terkantuk di sofa panjang ruang tengah. Disana ada Dhery, Kathy, Drew, Egan dan Adrienne. Aku tak tau bagaimana cara ayah bisa membawa mereka semua kesini.

"Ayah, bagaimana....". Kata-kataku di sela dengan muka ayah yang menandakan 'Tenang, percayalah padaku. Semua berjalan dengan baik.'

"Hei.." sapaku perlahan dan duduk di salah satu sofa yang kosong. Menghadap lima orang anak ingusan yang masih mengantuk, dengan kepala mereka bersender pada bahu teman lain.

Drew bangun, kemudian ia membangunkan yang lain. Berasa seperti putri raja yang dayang-dayangnya harus sudah siap untuk bertemu dengannya dalam keadaan baik.

"Bagaimana ayahku bisa membawa kalian kesini? Masih memakai piama?" tanyaku pada mereka.

Mereka tampak lelah. Oh Ya Tuhan, apa yang sudah dilakukan ayahku pada anak-anak ini yang sedang membersihkan kotoran dari ujung bibirnya? Oke itu menjijikan.

Mereka semua tersenyum, "Pastinya dengan cara yang sopan." kata Drew.

"Tidak dengaan kekerasan." timpal Egan.

"Dan ayahmu tidak menculik dan memasukan kami ke dalam sarung bekas yang bau dan lembab." tukas Dhery.

"Sshh. Diam. Tidak, Elsie. Tadi malam kami diam-diam ke sini. Kata ayahmu, kita akan berlibur." kata Kathy menjelaskan.

"Menginap?" tanyaku.

"Ya, kami menginap. Tentu saja."

Aku tidak mengerti, Apa maksud ayah? Apa yang akan ayah lakukan pada kami semua? Membuat kelompok bermain dan mengirim kami ke tempat penampungan anak jalanan? Oh, tidak. Tentu tidak.

"Kita akan berlibur di pantai dan menginap di hotel terdekat dengan pantai." Kata Adrienne.

"Ini semacam surprice... untukku?" kataku pelan.

Kemudian ayah datang dan duduk di sampingku, "Ya semacam itu. Lagi pula, kita sudah lama kan tidak berlibur?". Terdengar suara serak di sana. Ayah pasti sedang bersedih mengingat Ibu dan adik perempuanku, Sheila. Sebelumnya aku dan ayah memang tidak pernah berlibur setelah kematian Sheila. Mungkin ayah sudah bosan berkabung berlarut-larut. Dan ayah kembali pada kehidupan nyata. Kurasakan kerinduan yang mendalam ayah pada Sheila. Sheila adalah anak yang paling ayah sayangi. Ayah sayang pada Sheila karena mata Sheila yang sama dengan mata ibuku. Mata besar berbinar berwarna biru laut dengan sedikit warna kelabu. Sifatnya pun nyaris sama, anggun, berwibawa, sangat baik, murah senyum dan pandai meracik ramu ramuan. Tapi sayang itu semua sudah menjadi masa lau yang takkan pernah ayah dan aku lupakan. Takkan pernah. Dua orang yang amat aku sayang, yang memberikan kasih sayang tulus padaku, tanpa pamrih dan selalu menjagaku. Ya, terkadang menyakitkan jika potongan-potongan masa lalu itu terbayang kembali.

"Jadi, kapan kita akan memulai?" tanyaku pada ayah.

"Oh, sekarang. Tapi kalian harus bersiap-siap diri. Membawa perlengkapan kalian," ia berdiri, lalu menambahkan, "ayah ingin menyiram tanaman dulu." ia pun berlalu.

Ayah akan mengajakku ke pantai? Apa ayah lupa kalau aku membenci keramaian? Tapi entahlah. Ada rasa yang aneh. Bukan karena sifat ayah yang aneh, tapi tentang tempat tujuan kita nanti. Ya sudahlah, lihat saja nanti apa yang akan terjadi.

Kami sudah siap tepat pada pukul 10 pagi. Ternyata kami lama sekali untuk bersiap-siap. Kami semua menunggu di sofa ruang tengah. Dengan barang bawaan yang rata-rata tas ransel berukuran sedang di letakan di lantai dekat kami. Aku menunggu dengan mengotak-atik kamera dslrku. Sudah lumayan lama aku tidak menggunakannya, dan saat ku coba lagi, masih bisa.

"Ayaaahh. Ayoo." teriakku memanggil ayah yang entah berada di mana. Atau masih menyiram tanaman?

Ayah masuk ke rumah dengan pakaian yang masih sama saat membangunkanku tadi pagi. Dengan telanjang kaki yang basah mengotori lantai.

"Sudah siap? Oke, ayah akan mandi dan bersiap-siap." lalu ayah mencuci kakinya di kamar mandi dan melesat ke kamarnya.

Udara panas yang masuk ke dalam rumah membuat tempat ini lembab dan sumpek. Pendingin udara tidak cukup ampuh untuk membuat kami merasa sejuk. Akhirnya, setelah menahan panas, kubuka jaket yang sedari tadi ku kenakan. Mengikat rambutku yang tergerai menjadi konde.Teman-temanku juga sama, melepas jaket dan mengikat rambut mereka-bagi perempuan- . Ada 2 lembar koran terletak di sorong meja, ku ambil semuanya dan ku kipas-kipaskan di samping leherku. Merasakan angin yang tidak begitu kencang tapi cukup untuk menghentikan keringat yang sedari tadi mengucur. Musim panas yang amat panas. Jika kami tidak pergi, aku akan berendam seharian di kolam renang sampai matahari terbenam menyisakan siratan-siratan cahaya yang temaram. Dengan begitu aku takkan merasakan kepanasan, tidak akan ada keringat yang membanjiri wajah. Menunggu ayah bersiap-siap membuatku mengantuk, begitu juga teman-temanku. Akhirnya, mata ini sudah tak dapat di ajak kompromi kembali. Perlahan dunia mimpi mulai masuk ke alam bawah sadarku.

"Anak-anak ayo kita berangkaatt!" sorak ayah membangunkan tidurku. Dengan memakai pakaian yang berbahan tipis berwarna merah mencolok, ayah melangkah penuh percaya diri menuju tempatku tertidur. Kulihat jam yang menempel di pergelangan tangannku, jarum jam menunjukan pukul 11. Aku tertidur selama satu jam, tepatnya kami tertidur dlm satu jam. Dan berarti, ayah membutuhkan waktu 1 jam untuk berganti pakaian? Ya Tuhan. Kami mengulet badan dulu sebelum duduk dengan tegak. Udara panas tetap terjaga di ruangan ini. Kemudian kami semua berangkat.

Perjalanan ini lumayan jauh. Karena rumah ku dengan pantai memaang jauh. Rumahku bisa di bilang dekat dengan pedesaan, sedangkan pedesaan ini jauh dari pantai. Tapi entah, ayah akan membawa kami menuju pantai yang mana. Sepanjang perjalanan kami semua hanya mendengarkan musik dari handphone kami masing-masing. Rasa kantuk yang belum sepenuhnya hilang, membuat kami tidak berbicara. Mengarahkan pandangan pada pemandangan yang terbentang di sisi kiri dan kanan kami. Beruntung karena di dalam mobil tidak panas seperti di rumah. Kaca mobil sengaja di buka, agar angin masuk dan menghilangkan keringat kami dan membuang bau keringat yang sedari tadi mengganggu indra penciuman kami.

Setelah 3 jam perjalanan, kami sampai di pantai. Sebelumnya aku tak pernah melihat pantai ini sebelumnya. Dan ajaibnya pantai ini tidak banyak orang yang berkunjung untuk berjemur atau berenang. Hanya beberapa saja. Mata kami langsung berbinar melihat air laut yang melimpah terbentang disana. Kami semua langsung berlari menuju ke bibir pantai, berganti pakaian dengan baju renang. Kemudian byuuurr... Indahnya musim panas ini. Ayah hanya melihat kita bermain air. Ia duduk di atas ribuan pasir putih yang halus. Menatap kosong birunya langit siang. Terkadang, burung-burung pemangsa lewat di atas sana.

To be continuee

Kamis, 04 Oktober 2012

Mysterious Jungle (lanjutan)


Hari itu pun tiba. Aku sudah siap dengan semua perlengkapan aneh itu. Mendoakan diri semoga kami bisa melalui itu dengan baik. Kami berangkat pukul 4 pagi. Aku berangkat dari rumah pukul setengah 4 pagi menaiki mobil bersama ayah dan ibu. “I hope God bless me. Amen” batinku.

Tak kusangka, banyak murid-murid yang melihat acara ini. Melihat bagaimana kelima anak ini bisa berhasil atau terjebak di sana selamanya. Teman-temanku berdatangan, dan kami pun melangkah menuju depan kantor kepala sekolah. Tuan Rover hanya berbicara, semoga kelima anak ini selamat dengan utuh dan bisa menemukan seseorang itu. Mohon doanya. Setelah itu, kami masuk ke dalam mobil yang lumayan besar dan tampak gagah, kami pun melaju setelah kami berpamitan dari kaca pada orang tua kami masing-masing.
Perjalanan ini lumayan jauh, soalnya pas kami bangun, matahari sudah bersinar dengan terang. Tadi, kami masih mengantuk, jadi Tuan Rover mengijinkan kami untuk tidur sejenak selama perjalanan. Saat pertama bangun, mobil masih melaju melintasi jalan yang sekelilingnya pepohonan besar, nyaris tidak ada tanda-tanda kehidupan. Aku belum pernah melihat ini sebelumnya, sama sekali belum pernah. Apakah aku sudah berada di dimensi tersebut? Mungkin iya, kami melintasi perbatasan dimensi saat kami tidur. Beberapa jam kemudian, mobil berhenti di sebuah pos. Mungkin pos inilah yang menandakan ada sedikit kehidupan di tengah-tengah keramaian pepohonan.

“Baiklah, kita percepat saja. Kalian sudah membawa semua perlengkapan? Tenda?” kata Tuan Rover.

“Sudah, Tuan.” jawab kami serempak.

“Tapi, kami tidak memiliki Penyimpan sinar matahari. Kami tidak tau apa itu.” Kata Peter.

Tuan Rover lalu memberikan sebuah benda berwarna kuning dengan sedikit warna merah, ya semacam senter tapi ini panjangnya mungkin sekitar 25-30 cm. Dengan ukiran-ukiran abad ke-8 mungkin. Aku tak tau pastinya. Peter pun memerima benda itu.

“Ini Penyimpan sinar matahari. Saya sudah mengisi ini dengan sinar matahari. Jika kalian ingin menggunakannya, buka tutupnya dan pikirkan sinar matahari pagi yang hangat dan nyaman. Ini akan sangat membantu kalian. Jaga baik-baik. Ayo masuk.” Jelas Tuan Rover.

Akhirnya, kami masuk ke dalam hutan melalui jalan yang berada di belakang pos itu. Semakin kita melangkah ke dalam, semakin sedikit sinar matahari yang masuk. Inilah hutan yang seperti aku bilang pada waktu opening itu.

“Disini, kalian akan di temani oleh dua orang pemandu, satu laki-laki dan satu lagi perempuan. Kenalkan nama mereka, Cindy dan Steve.” Kata Tuan Rover memperkenalkan dua orang dewasa yang berada di sampingnya saat ini. Mereka semua tersenyum.

“Baik, selamat berpetualang. God bless you, nak! Semoga berhasil”. Kemudian Tuan Rover melangkah pergi kembali ke pos saat kami pertama masuk.

“Baik, kita akan berjalan beberapa meter untuk menemukan lahan datar yang bisa di gunakan untuk membangun tenda. Setiap anak, akan diberi satu peta. Mengerti?” jelas Cindy.

“Yeah.” Jawab Jake.

Kami pun mulai melangkah lurus menuju lahan datar yang entah berada dimana. Sebenarnya aku tak tau kita berjalan lurus atau serong, disini tidak ada jalan setapak, yang ada hanya tanah-tanah sehabis hujan yang di penuhi lumut, jadi agak sedikit licin.
Ku lihat jam yang menempel di tangan kiriku, waktu menunjukan pukul 1 siang. Wow waktu cepat sekali berlalu. Tapi, disini tidak seperti pukul 1 siang, melainkan seperti pukul 3 sore. Pada akhirnya, kita semua sampai di lahan datar itu. Dan bergegas untuk mendirikan tenda, kami hanya membawa 2 tenda. Satu tenda untuk anak perempuan dan satu tenda untuk anak laki-laki. Begitu perintahnya yang tertulis di surat persetujuan. Sekitar jam setengah 3 kami selesai mendirikan tenda dan menata semua barang bawaan.

“Kalau mau mandi, ada sebuah air terjun di sana, dekat Biology National Park, namanya National Waterfall. Kalian akan senang jika mandi disana.” Kata Cindy. Hmm.. Kemana Steve? Dari tadi aku tidak melihatnya. 
Aneh. Lalu ia meninggalkan kami.

“Bagaimana? Mau mandi sekarang?” tanyaku.

“Ahh.. nanti saja. Aku ingin beristirahat dulu, lelah aku berjalan.” Keluh Jake.
Kami pun berleha-leha sejenak, sekedar melepas kepenatan yang dari tadi mengerubungi kami.

“Aku kebelet pipis, Rin.” Kata Alexa.

“Baiklah, ambil sentermu. Kenapa hampir gelap sih? Padahal ini baru pukul 3 sore. Harusnya matahari masih bersinar terang. Kau tak ikut, Vi?” Kataku seraya mengambil senter di dalam tasku.
Viona menggeleng “Tidak, aku disini saja menjaga barang-barang. Hati-hati!”

Kemudian aku bicara pada teman-teman yang lain, kalau aku dan Alexa akan pipis sebentar. Sebenarnya aku tak tau arah mana yang akan aku lalui, ke arah utara atau ke arah selatan? Atau ke arah barat? Timur? Tenggara? Ughhh! Aku belum pernah camping sebelumnya, belum pernah camping di hutan sungguhan. Baiklah, kami memutuskan untuk pergi ke arah utara. Aku selalu membawa kompas yang kuberi tali agar bisa ku gandulkan di leher, supaya tidak hilang. Sebaiknya, aku tidak terlalu jauh dari perkemahan. Setelah selesai, aku dan Alexa kembali ke perkemahan. Hatiku langsung berdetak kencang, saat melihat perkemahan sepi sekali, tadi terakhir kulihat Peter sedang bermain gitar, dan biasanya jika ia bermain gitar bisa berjam-jam. Apakah mereka semua mandi? Tapi kenapa mereka tidak menuggu kami semua? Aku langsung menuju tendaku. Fyuuhh, Viona masih di dalam sedang bermain iPhonenya.

“Kenapa, Rin, Le?” tanya Viona.

“Uhm.. ini benar kau kan, Vi?” tanyaku ragu.

Viona terkekeh “Of course, I am! Why?”

“Uhmm tidak papa.” Aku dan Alexa saling berpandangan. Kami pun tidur-tiduran, aku yang berada di dekat pintu tenda. Melihat keluar melalui celah resleting, Peter sedang memainkan gitarnya, dan Louis sedang melihat peta yang di terangi oleh sebuah lampu senter. Dan aku membelakangi Alexa dan Viona. Kenapa Peter sudah berada di depan tendanya? Memainkan gitar? Tadi tidak ada ketika aku dan Alexa selesai buang air kecil. Kulihat Peter menaruh gitarnya di dalam tenda dan mengajak Louis menghampiri tendaku.

“Heeyy ladies!” sorak Louis.
Kami semua bangun dan membuka resleting tenda.

“What?” tanya Viona, ketus.

“Bagaimana kita mencari kayu bakar dulu, setelah itu kita mandi. Hari sudah semakin gelap.” Ajak Peter.

“Baiklah. Siapa yang ikut?” tanyaku.

“Akuuu!” seperti biasa, Alexa menemaniku.

“Tidak, aku disini saja. Seperti biasa menjaga barang-barang.” Kata Viona yang terus asik dengan iPhonenya.

“Okay, Jake juga tidak ikut. Dia juga akan menjaga tenda. Come on!” kata Peter.

To be continueeeee

Maria Aragon (cover) - Price Tag

Helloooo! I'm back! 
      Pada udah tau siapa itu Maria Aragon? Uhm.. sebenernya gue juga gatau banget tentang Maria Aragon, soalnya gue bukan fansnya. Tapi gue suka aja sama suara imutnya. Keren deh suaranya. Maria terkenal saat nge cover lagu Born This Way dari Lady Gaga. Oiya, dia Little Monster loh alias fans fanatiknya Lady Gaga. :) Nah, kali ini gue mau nge publish videonya Maria lagi nge cover lagunya Jessie J - Price Tag. Keceee bet. Let's see it! =>



Keren kan? Makasih udah mau ngeliat hahaha....